Terlalu Berfokus pada Luar Diri, Lupa pada Dalam Diri

Mungkin kita tidak sadar, sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk luar diri kita. Keadaan yang ada di luar diri, seperti terlalu memerhatikan kepentingan orang lain, pencapaian orang lain, atau tampilan diri di mata orang lain.

Misalnya, melihat teman kita yang telah mendapatkan pekerjaan lebih dulu atau sudah melanjutkan kuliah lagi. Lalu membandingkan dengan diri yang belum bisa melakukan keduanya. Melihat orang lain yang tampil begitu menarik dan disukai banyak orang, sementara melihat diri sebagai pribadi yang membosankan dan tidak ada yang mendengar.

Ketika terlalu berfokus pada luar diri, kita lupa untuk melihat lebih dalam diri kita sendiri. Apa kelebihan yang kita punya, apa yang sebenarnya dibutuhkan, dan apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita tidak perlu mengacu pada pencapaian orang lain atau pandangan orang lain terhadap diri kita, tetapi coba berbicara dengan diri sendiri untuk lebih mengetahui pribadi kita secara utuh.

Saat kita sudah mengenali pribadi secara utuh, kita mampu membangun tameng untuk menghadapi apapun yang ada di luar diri. Kita tidak akan mudah termakan oleh penilaian maupun pencapaian orang lain karena kita telah tahu apa yang terbaik untuk diri kita sendiri.

Bukan Mengkritik, Tetapi Menerima

Menerima segala hal yang ada dalam diri bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, ketika kita merasa terlalu banyak hal buruk dibandingkan hal baik dalam diri kita. Dengan menerima, kita dapat lebih mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam diri.

Bukannya mengkritik, tetapi kita lebih menghargai dan menyayangi diri terlepas apapun yang terjadi. Akan tetapi, bukan berarti kita lupa untuk mengevaluasi diri. Evaluasi diri dilakukan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ketika kita menemukan alasan-alasan di balik suatu peristiwa yang terjadi, kita mampu untuk terus berjalan ke depan dalam kehidupan.

Sebagai contoh, saat mengalami kegagalan, kita berkata, “Aku sudah berusaha dengan keras, tapi memang belum waktunya untuk saat ini. Tidak apa-apa. Memang sepertinya pribadiku belum cocok untuk pekerjaan ini. Ada pekerjaan lain yang lebih cocok untukku nanti

Atau contoh lain kamu berkata, “Iya, tadi aku salah. Aku memang sedang lelah dan penat sehingga gak bisa mengontrol perkataan terhadap temanku tadi. Aku jadi lebih sensitif menanggapinya. Tapi bukan berarti sepenuhnya aku menyalahi diri dan tidak bisa berbuat lebih baik lagi. Sudah ya, jangan kesal lagi.”

Dengan mencoba berdialog seperti itu, kita memulai untuk lebih menerima tanpa lupa mengevaluasi diri secara baik. Kita mampu untuk tetap menyayangi diri dalam kondisi apapun nanti.

Sayangi Diri Sendiri

Menyayangi diri sendiri adalah hal mendasar dalam kehidupan, namun sebagian dari kita mungkin lupa untuk melakukannya. Dengan menyayangi diri, kita mampu menghibur diri saat terjadi kegagalan atau menyadari ada kekurangan dalam diri. Kita bisa melihat diri sendiri secara utuh dan jelas. Kita juga menjadi lebih baik dalam menerima kenyataan bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan imej yang selama ini kita bangun untuk orang lain.

Misalnya, kamu menggambarkan diri sebagai sosok yang selalu ceria dan humoris di mata orang lain. Akhirnya, ketika merasa sedih, kamu menahan diri untuk tidak menangis dan tetap ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Kamu malah memarahi dirimu karena bersikap tidak seperti seharusnya, bukannya menerima tidak apa-apa kamu menangis sekarang.

Dengan mampu melihat diri penuh rasa sayang meskipun ada luka yang melekat, kita akan menjadi semakin tangguh dan tabah dalam menghadapi kesulitan. Kita tidak akan melukai diri kita sendiri lagi, meski sekadar kata-kata yang diucap. Ketika kita sudah mampu sepenuhnya menyayangi diri, maka akan terasa lebih indah untuk menyayangi orang lain, bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini